Alasan-alasan para Penolak RUU APP

Irfan Junaidi wartawan Republika dalam tulisannya yang amat argumentatif, mengatakan bahwa sedikitnya ada enam jenis alasan yang kerap dikemukakan para penolak RUU APP.

Pertama, mereka menganggap aturan tersebut sebagai alat mengekang kebebasan kaum perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban. Larangan membuka segala hal sensual, seolah-olah hanya disasarkan kepada perempuan. Padahal, jika diamati pasal demi pasal, jelas sekali kata yang dipilih tidak menunjuk pada jenis kelamin tertentu. Mulai dari Pasal 4 hingga Pasal 33, hampir semuanya diawali dengan kata ‘’setiap orang’’. Artinya, laki-laki maupun perempuan bisa terkena implikasi. Substansi pasal-pasal itu juga tidak menunjuk kelompok gender tertentu. Rancu jika aturan itu disebut merugikan perempuan.

Alasan kedua, aturan itu bertentangan dengan adat istiadat di sebagian wilayah. Bali dan Papua kerap dijadikan modelnya, karena pakaian adatnya memang tidak menutup aurat secara sempurna. Mereka khawatir, warga di kedua wilayah tersebut bakal dijerat hukum jika RUU APP disahkan menjadi UU. Sungguh logika ini sangat dipaksakan. Logika yang sangat awam pun mengetahui bahwa aturan itu disiapkan bukan untuk menjerat masyarakat adat Bali yang hanya mengenakan kemben, maupun warga Papua yang hanya berkoteka. Lagi pula, dalam diskursus soal pornografi yang berjalan selama ini, masyarakat dari kedua wilayah tersebut tidak pernah ikut dihitung. Mengapa tiba-tiba mereka dijadikan ‘tameng’?

Dasar penolakan ketiga menyebutkan bahwa urusan pornografi dan pornoaksi cukup diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika KUHP memang mencukupi, tentulah fenomena pornografi dan pornoaksi tidak akan marak seperti sekarang. Karena itulah perlu aturan yang menyempurnakannya.

Alasan keempat menuding RUU APP sebagai bentuk intervensi negara terhadap ruang privat warga negaranya. Alasan ini kerap sekali terdengar. RUU APP seolah-olah dianggap hanya mengatur masalah pakaian dan tubuh perempuan an sich. Sensualitas yang dibatasi RUU APP adalah sensualitas yang memasuki ruang publik. Karena itu, istilah ‘’dipertontonkan di muka umum’’, ‘’disiarkan/menyiarkan’’, ‘’menyebarkan’’, bertebaran dalam draf RUU tersebut. Sensualitas yang berada di ruang privat, memang tidak boleh dijangkau negara. Urusannya menjadi lain jika sensualitas itu memasuki ruang publik.

Yang kelima adalah alasan yang sangat klasik: membuat kreasi seni dan budaya menjadi kering. Argumentasi ini menganggap kreativitas seniman dan budayawan hanya mampu berada di area sensual. Karenanya, hasil karya mereka menjadi kering ketika area itu dibatasi.

Bukan baru kali ini pornografi dan seni dibentur-benturkan. Ini adalah alasan yang sangat klasik. Atas nama seni, orang boleh telanjang di muka umum. Mereka yang mempersepsi ketelanjangan itu sebagai pornografi kemudian dianggap berpikiran ngeres (kotor) dan disalahkan. Sebaliknya, orang yang tampil tanpa busana malah dibela karena dianggap berani memperjuangkan kebebasan berekspresi.

Sedang alasan keenam adalah batasan pornografi dan pornoaksi tidak jelas. Ini bentuk pengaburan belaka. Draf RUU tersebut telah membuat definisi yang jelas soal pornografi dan pornoaksi itu. Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.

Ayat 2 mendefinisikan pornoaksi sebagai perbuatan mengeksploitasi seksual, kacabulan, dan atau erotika di muka umum.

Sangat Jelas

Sebenarnya jelas bahwa RUU APP dibuat agar ada pagar yang membuat orang tidak sesuka hatinya berbuat apa saja di ruang publik. Kita tahu, pornografi dan pornoaksi telah menjadi bisnis besar dengan keuntungan yang menggiurkan. Perdagangan majalah, tabloid, vcd, program televisi, serta situs porno di internet, telah menjadi ‘tambang uang’. Bisnis ini jelas terancam jika RUU APP disahkan.

Unsur ideologi penolakan RUU APP ini bisa terlihat dengan munculnya tuduhan bahwa pembuatan RUU APP merupakan langkah awal untuk menerapkan syariat Islam. Dalam artikelnya, Goenawan Mohamad, juga menganggap upaya untuk menyusun RUU APP sebagai langkah untuk ‘mengarabkan’ Indonesia. Dalam banyak kasus, dunia Arab disimbolkan sebagai Islam.

Helfizon Assyafei, SE Wartawan Riau Pos.

http://www.riaupos.com/web/content/view/9601/27/

 

 

Pengunjung ke :
 


<< Log in >>

Download.com

 

Situs ini dipelihara dan tanggung jawab crew Pustaka Afkar
Webmaster By
Bije
Last Up Date: May 2006